media kampanye dan sosialisasi kandidat bupati-wakil bupati maros 2010
Pengantar

Pilkada bukan sekedar pesta pora para kaum elit. Hajatan demokratis ini, seharusnya adalah momentum yang ditemukan. Momentum yang dipakai untuk berbenah dan mengatur langkah kedepan. Untuk itu sebuah hajatan seperti Pilkada tidaklah kita sia-siakan begitu saja lewat dengan kegembiraan semu, menghambur-hamburkan uang hanya untuk menunjukan narsisnya politisi.

Sebab semua ini telah memuakkan masyarakat yang hampir sepanjang waktu dijejali dengan urusan pilih-memilih, urusan keluar masuk bilik suara. Lalu setelah itu mereka kembali kehidupan mereka yang masih seperti itu-itu saja. Mereka yang miskin tetaplah miskin, mereka yang susah masih saja dirundung kesusahan. Wajar bila kemudian sikap ketidakpedulian muncul di masyarakat sembari dengan gusar mereka berkata; " siapa sajalah yang terpilih, toh siapa pun yang terpilih nasib kita tidak juga berubah".

Mengapa hal ini terus menjadi penyakit yang terus menjangkiti kehidupan masyarakat kita. Jawabnya, karena banyak partai dan politisi yang melakoni perilaku " ada kesempatan, sikat!" mereka melakukan banyak kompromi demi keuntungan sementara. Maka masyarakat pun memilih untuk tidak mau rugi dan akhirnya mereka pun 'menjual' hak suaranya dengan sembako 50 ribu, 100 ribu hingga seharga mobil mewah atau paling jauh Pilkada hanyalah keinginan 'emosi sesaat'.

Bila kondisi ini semakin parah, maka boleh jadi kita hanya menghambur-hamburkan uang rakyat tetapi kita tidak mendapatkan manfaat apa-apa. Masa depan sebuah daerah dipertaruhkan tidak lebih seharga sekantong beras, beberapa ratus ribu uang, atau sekaleng susu atau bahkan sebungkus rokok. Betapa murah harga 'hak politik' itu !

Maka menjadi sebuah ikhtiar bagi kami, media pendidikan politik masyarakat "Maros Bangkit 2010" ini disebarkan, sebagai ikhtiar membagi gagasan agar hak politik masyarakat tersalurkan dengan cerdas dan sehat. Sebab bagi kami hajatan demokrasi bukanlah masalah satu hari, bukan pula seremonial pilih memilih orang, tetapi kami percaya pada proses dan niatan serta tujuan yang baik selalu dibarengi oleh proses yang berjalan sehat pula. Bagaimana pun ini adalah masalah menyelamatkan pondasi berbangsa kita, tidak untuk hari ini saja tetapi lebih penting untuk masa depan generasi kita nantinya. Proses ini harus melewati jalur yang sehat untuk bisa menyongsong kebangkitan yang sesungguhnya.

Tetapi semua ini adalah kerja banyak orang, semua unsur mesti terlibat secara sadar, semua pihak harus merasa berkepentingan pada masa depan daerah ini atau kita tidak pernah melangkah kemana-mana. Selamanya kita hanya bisa merenungi dan meratapi nasib yang kian terpuruk.

Sungguh tidaklah kami bermaksud menggurui, tetapi kami Haqqul Yaqin, kebangkitan Maros itu selalu punya peluang, tapi kami berharap kita berjalan beriringan menyosongnya.

Sungguh itu harapan kami...

tabe'
REDAKSI

Pilkada Kebangkitan Civil Society

oleh : Muh. Nurjaya , S.Sos*

Cicero adalah seorang filsuf Romawi yang pertama memunculkan gagasan societies civils dalam sejarah filsafat politik. Civil society merupakan suatu konsep yang dinamis, yang selalu mengalami perubahan makna.

Masyarakat madani atau yang disebut orang barat civil society mempunyai prinsip pokok pluralis, toleransi dan human right (HAM) termasuk didalamnya adalah demokrasi. Sehingga masyarakat madani dalam artian negara menjadi suatu cita-cita bagi negara Indonesia ini, meskipun sebenarnya pada wilayah-wilayah tertentu, pada tingkat masyarakat kecil, kehidupan yang menyangkut prinsip pokok dari masyarakat madani sudah ada. Sebagai bangsa yang pluralis dan majemuk, model masyarakat madani merupakan tipe ideal suatu mayarakat Indonesia demi terciptanya integritas sosial bahkan integritas nasional.

Mencari padanan kata “masyarakat madani” dalam literatur bahasa kita memang agak sulit. Kesulitan ini tidak hanya disebabkan karena adanya hambatan psikologis untuk menggunakan istilah-istilah tertentu yang berbau Arab-Islam tetapi juga karena tiadanya pengalaman empiris diterapkannya nilai-nilai “masyarakat madaniyah” dalam tradisi kehidupan sosial dan politik bangsa kita. Namun banyak orang memadankan istilah ini dengan istilah civil society, societas civilis (Romawi) atau koinonia politike (Yunani). Padahal istilah “masyarakat madani “ dan civil society berasal dari dua sistem budaya yang berbeda. Masyarakat madani merujuk pada tradisi Arab-Islam sedang civil society tradisi barat non-Islam. Perbedaan ini bisa memberikan makna yang berbeda apabila dikaitkan dengan konteks istilah itu muncul.

Civil society dijadikan sebagai perwujudan suatu tipe keteraturan kelembagaan. Dalam pengertian civil society dijadikan jargon untuk memperkuat ide demokrasi, atau dengan kata lain bicara civil society sama dengan bicara demokrasi. Civil society ini merupakan obyek kajian dalam dunia politik (sosiologi politik, antropologi politik, dan social thoughts).

Civil society dengan begitu secara sederhana adalah terberdayakannya hak masyarakat terhadap Negara. Dimana diasumsikan bahwa demokrasi adalah pemerintahan yang berasal dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat. Semestinya pengertian itu bisa sangat sederhana, namun membingungkan dalam pelaksanaannya. Penyebabnya karena demokrasi yang berjalan bisa jadi semu atau cuma sekedar prosedural dan alat-alatnya (misal; pemilihan langsung presiden). Inilah yang dimaksud para pakar ilmu politik sebagai demokrasi prosedural bukan demokrasi subtansial. Dalam bahasa sederhanya, kita (sekedar) menjalankan ritual yang seolah-olah demokratis, atau sekedar kulitnya, tapi isinya tidak demikian.

Padahal, salah satu cara berjalannya demokrasi dan pemberdayaan masyarakat terhadap Negara adalah hak politik mereka dalam menentukan kebijakan (termasuk memilih pemimpinnya) suatu pemerintahaan. Hak itu diberikan, agar mereka sebagai pemilik kedaulatan, bisa menyalurkan aspirasi mereka sesuai dengan kebutuhan atau kepentingan masyarakat. Pemilihan kepala daerah misalnya, pertama-tama harus berangkat dari kebutuhan masyarakat. Dan proses yang berlangsung harus menguntungkan masyarakat bukan menguntungkan segelintir elit politik, kelompok apalagi dinasti keluarga tertentu.

Bila terjadi kondisi, dimana kita menjalankan prosedur demokrasi, misalkan dengan Pilkada atau Pilpres tapi masyarakat sendiri tidak berkepentingan terhadap hajatan tersebut, maka Pilkada dan sejenisnya tidak patut kita sebut sebagai pesta demokrasi rakyat. Tetapi itu hanyalah pesta para elit politik.

Instrumen demokrasi, seperti partai politik, seharusnya menjadi alat bagi msayarakat untuk menyalurkan aspirasi politik mereka yang berdampak pada keuntungan masyarakat. Untuk itu, partai politik bukan malah melakukan pembodohan politik di masyarakat.

Seringkali kita lihat, bahwa partai hanya bicara untuk kepentingan partai mereka sendiri, kadang mereka justru melukai perasaan masyarakat dengan tidak peka terhadap kebutuhan yang diinginkan masyarakat luas. Inilah yang menjadi penyebab makin meluasnya sikap ketidakpedulian masyarakat terhadap partai, bahkan cenderung tidak peduli pada proses Pilkada dan sejenisnya, sebab bagi mereka apapun hasilnya tidak berdampak apa-apa terhadap mereka. Bila gejala ini tidak direspon secara cerdas dan empatik oleh partai-partai politik juga para politikus, maka gejala paling parah yang terjadi di masyarakat adalah mereka berpikir pendek dengan menggadaikan hak memilihnya dengan sembako dan uang. Dan proses demokrasi dianggap sebagai sebuah seremonial belaka, tanpa mau peduli bahwa proses tersebut ikut menentukan nasib mereka lima tahun kedepan.

Menjawab Tantangan

Politikus (dan partai) yang masih cukup idealis gelisah dengan kian parahnya gejala yang disebutkan diatas, rasa-rasanya gerakan untuk melakukan perubahan yang lebih baik menjadi begitu berat. Tetapi kita tidak bisa menyalahkan opini yang terlanjur terbentuk di benak masyarakat akan ketidakpeduliannya pada proses demokrasi, itu justru menjadi keinsyafan bagi pelaku politik untuk mengembalikan kepercayaan masayarakat pada alat demokrasi sebagai jalan menemukan kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat.

Partai politik, harus mau melakukan gerakan pencerdasan politik pada masyarakat, dan mengembalikan fungsi partai sebagai saluran masyarakat untuk menyuarakan aspirasinya, bukan menjadikan masyarakat sebagai obyek yang harus dicermahi dengan janji-janji dan senyum kepalsuan. Tiba saatnya partai lebih banyak mendengar dan merasakan kebutuhan masyarakat lalu memperjuangkan sesuai dengan ideology partai. Bukan dengan melakukan kompromi-kompromi kemudian memaksa masyarakat untuk menerima hasil kompromi tersebut.

Kemudian partai seyogyanya memperlihatkan aktifitas politiknya yang sesuai dengan garis ideology partainya. Sebab, masyarakat nyaris tidak bisa membedakan antara satu partai karena perilaku dan garis kebijakannya terlihat sama saja. Untuk itu partai haruslah tetap memgang prinsip kebijakan partainya dan tidak cenderung pragmatis.

Pada momentum Pilkada, partai sebagai lembaga politik yang berperan penting mengusung kandidat tidak mendasarkan pada pilihan yang sangat pragmatis. Tetapi usungan partai tersebut, berdasarkan kualitas pemimpin yang memang pantas dan tipe pemimpin yang dibutuhkan oleh masyarakat. Partai yang tidak idealis adalah partai yang akan memilih figur tidak berdasarkan kualitas, tetapi semata-mata yang berpeluang besar menang, tentu indicator yang dipilih adalah kandidat yang bermodal tebal atau jaringan keluarga besar. Faktor itu bisa jadi penting dalam setiap pertarungan politik, tetapi bukan menjadi prinsip paling awal, figuritas yang berpandangan kedepan serta bisa memberikan solusi terhadap persoalan masyarakat serta figure yang dibutuhkan masyarakat lah yang semestinya menjadi pertimbangan mendasar bagi partai mengusung kandidatnya.

Menurut Firmanzah, penting bagi parpol membangun kekuatan organisasional (part organizational strength). Landasannya dengan mengoptimalkan fungsi partai sebagai tulang punggung sistem politik yang demokratis. "Sebagai konsekwensi kebutuhan partai untuk menjadi kuat adalah kemampuan membangun program untuk membentuk dan berinteraksi dengan konstituen, memperluas basis dukungan dan mencegah faksionalisasi internal," ujarnya.

Pada umumnya parpol cenderung menyerap sumber pendanaan dari luar partai, baik dari pemerintahan atau pun lembaga-lembaga swasta yang berorientasi bisnis. Modus yang dilakukan parpol adalah mengembangkan dan menempatkan jaringan ke dalam perusahaan atau lembaga pemerintahan itu. Tapi, akibatnya harus disadari, bahwa parpol tersebut berpotensi menjadi bagian dari kepentingan lembaga yang menjadi sumber dana. Sedangkan persoalan pembangunan dan solusinya tidak lagi menjadi landasan atas misi dan visi parpol.

Cara penyerapan pendanaan dari eksternal parpol, berpontensi kepada kegagalan dalam membangun citra parpol sebagai institusi politik yang kredibel di mata publik. Akibatnya, akan bermunculan sikap-sikap antipartai di tengah masyarakat. Parpol akhirnya kehilangan legitimasi selaku institusi politik yang seharusnya menjadi saluran bagi kepentingan masyarakat menuju para pengambil keputusan. Tetapi harapan terus berpotensi bertumbuh pada partai-partai yang masih terus menjaga 'kepercayaan' dan idealisme partainya serta mencoba untuk setia di garis ideologi partainya.

* (Aktivis Partai Bintang Reformasi (PBR) Kab. Maros.)

2 Comments:

Anonim said...

tabe'kak....semoga sukses q selalu

Cacang said...

trima kasih dinda atas doanya :)

Posting Komentar

Tolong dong Komentarnya...!!!

Bidang Apakah yang Paling Mendesak Untuk Segera Dibenahi Oleh Pemimpin Terpilih Kab. Maros 2010 ?

Catatan Cinta Untuk Maros..............